300x300

Thursday, December 29, 2011

Tips Berdamai dengan “Musuh”


Karena manusia dibekali oleh perasaan, sehingga dinamika dalam menjalin hubungan dengan manusia sangat beragam. Ada cinta ada benci, ada dendam ada maaf, ada musuh ada sahabat, dan beribu dinamika yang mungkin muncul lainnya. Ini manusiawi, yang tidak manusia jika ada seorang manusia tidak pernah merasakan dinamika tersebut.
Yang menjadi persoalan jika persentase perasaan kiri/negatif (benci, musuh, dendam, dan saudara-saudaranya) lebih besar dari yang positif. Lebih banyak musuh dari sahabat, atau lebih banyak menanam kebencian daripada cinta membuat hidup terasa sempit dan tidak menyenangkan. Sehingga bagaimanapun juga, seorang yang normal akan berusaha menanam cinta dan mencari sahabat bukan menebar teror dan permusuhan.
Bagaimana mengubah kebencian menjadi cinta atau musuh menjadi sahabat? Mungkin inilah adalah hal yang paling sulit. Apalagi, jika kebencian dan permusuhan itu sudah berlarut-larut. Disamping itu, ada perasaan gengsi dan malu menjalin hubungan dengan “status yang baru”. Siapa yang akan memulai status baru itu, suatu tekanan batin yang sangat besar, didalamnya ada “harga diri”, kata sebagian orang. Amit-amit deh minta maaf duluan, kata orang yang bergengsi besar. Tetapi jika tidak ada yang mulai, maka jadilah musuh abadi, benci abadi, dan saya rasa tidak ada orang yang menginginkannya.
Jika terjadi dislike dan permusuhan antara dua orang, sebenarnya dalam relung hati yang paling dalam, tersimpan keinginan untuk berdamai. Tidak ada kebencian yang betul-betul benci, sehingga menghapus maaf dan cinta sama sekali. Kebencian kita kepada seseorang, karena ada sesuatu yang tidak kita sukai pada perilakunya, sehingga kita menginginkan atau menghindar dari perilaku buruknya tersebut, menurut pandangan kita. Jika kita mencoba menelusuri lebih jauh, mengapa orang yang kita “anggap jahat”,berperilaku demikian, pasti dia mengganggap dirinya benar, sudah tepat berperilaku demikian. Terus jika begini siapa yang salah?
Semua orang yang normal memiliki alasan mengapa dia melakukan suatu tindakan. Alasan inilah yang menjadi penyebab pembenaran dari tindakannya tersebut. Sehingga cara berdamai dengan “musuh” yang paling utama adalah mengerti alasan mereka melakukan tindakan yang kita kita benci. Lepaskan ego kita, dan cobalah menjadi orang tersebut. Memahami tindakan orang lain, walaupun merugikan kita, adalah sebuah jalan lurus membangun dan memperbaiki sebuah hubungan.
Jika kita sudah memahami, mengapa seseorang melakukan tindakan tersebut, maka pintu maaf pasti terbuka. Yang menjadi masalah selanjutnya adalah, siapa yang harus meminta maaf? Secara psikologis, jelas ego disini akan dominan.
Jika hubungan sebuah negara dengan negara lain yang sebelumnya bermusuhan, maka permintaan maaf dan perubahan status antara bermusuhan menjadi sahabat, harus diratifikasi oleh kedua-belah pihak, dengan cara-cara yang legal formal
Untuk kasus-kasus pribadi antara orang dengan orang, permintaan maaf sebanarnya tidak harus diucapkan dengan kata, “saya minta maaf”. Permintaan maaf dan keinginan untuk menjadi sahabat bisa dengan mengirim sinyal-sinyal persahabatan tersebut. Sinyal itu bisa berupa mengubah senyuman yang sebelumnya pahit menjadi manis, atau sebelumnya jijit bersentuhan menjadi berdekatan, atau puasa bicara canda menjadi berbuka canda.
Suatu kelegaan yang sangat luar biasa, jika beban benci dan musuh bisa kita ubah menjadi cinta dan sahabat. Ubahlah status beban hidup itu menjadi sebuah kelegaan, maka kamu dapatkan matahari yang kembali bersinar, dan rembulan yang kembali purnama.


Add From : http://www.psychologymania.com

0 comments:

Post a Comment

TERIMAKASIH ATAS KOMENTARNYA.
Kapan-kapan komentar disini lagi ya?????