Karena manusia
dibekali oleh perasaan, sehingga dinamika dalam menjalin hubungan dengan
manusia sangat beragam. Ada cinta ada benci, ada dendam ada maaf, ada
musuh ada
sahabat, dan beribu dinamika yang mungkin muncul lainnya. Ini manusiawi,
yang
tidak manusia jika ada seorang manusia tidak pernah merasakan dinamika
tersebut.
Yang menjadi
persoalan jika persentase perasaan kiri/negatif (benci, musuh, dendam,
dan
saudara-saudaranya) lebih besar dari yang positif. Lebih banyak musuh
dari
sahabat, atau lebih banyak menanam kebencian daripada cinta membuat
hidup
terasa sempit dan tidak menyenangkan. Sehingga bagaimanapun juga,
seorang yang
normal akan berusaha menanam cinta dan mencari sahabat bukan menebar
teror dan
permusuhan.
Bagaimana
mengubah kebencian menjadi cinta atau musuh menjadi sahabat? Mungkin
inilah
adalah hal yang paling sulit. Apalagi, jika kebencian dan permusuhan itu
sudah
berlarut-larut. Disamping itu, ada perasaan gengsi dan malu menjalin
hubungan dengan
“status yang baru”. Siapa yang akan memulai status baru itu, suatu
tekanan
batin yang sangat besar, didalamnya ada “harga diri”, kata sebagian
orang. Amit-amit
deh minta maaf duluan, kata orang yang bergengsi besar. Tetapi jika
tidak ada
yang mulai, maka jadilah musuh abadi, benci abadi, dan saya rasa tidak
ada
orang yang menginginkannya.
Jika terjadi
dislike dan permusuhan antara dua orang, sebenarnya dalam relung hati
yang
paling dalam, tersimpan keinginan untuk berdamai. Tidak ada kebencian
yang
betul-betul benci, sehingga menghapus maaf dan cinta sama sekali.
Kebencian kita
kepada seseorang, karena ada sesuatu yang tidak kita sukai pada
perilakunya,
sehingga kita menginginkan atau menghindar dari perilaku buruknya
tersebut,
menurut pandangan kita. Jika kita mencoba menelusuri lebih jauh, mengapa
orang
yang kita “anggap jahat”,berperilaku demikian, pasti dia mengganggap
dirinya
benar, sudah tepat berperilaku demikian. Terus jika begini siapa yang
salah?
Semua orang
yang normal memiliki alasan mengapa dia melakukan suatu tindakan. Alasan
inilah
yang menjadi penyebab pembenaran dari tindakannya tersebut. Sehingga
cara
berdamai dengan “musuh” yang paling utama adalah mengerti alasan mereka
melakukan tindakan yang kita kita benci. Lepaskan ego kita, dan cobalah
menjadi
orang tersebut. Memahami tindakan orang lain, walaupun merugikan kita,
adalah
sebuah jalan lurus membangun dan memperbaiki sebuah hubungan.
Jika kita
sudah memahami, mengapa seseorang melakukan tindakan tersebut, maka
pintu maaf
pasti terbuka. Yang menjadi masalah selanjutnya adalah, siapa yang harus
meminta maaf? Secara psikologis, jelas ego disini akan dominan.
Jika
hubungan sebuah negara dengan negara lain yang sebelumnya bermusuhan,
maka
permintaan maaf dan perubahan status antara bermusuhan menjadi sahabat,
harus
diratifikasi oleh kedua-belah pihak, dengan cara-cara yang legal formal
Untuk kasus-kasus
pribadi antara orang dengan orang, permintaan maaf sebanarnya tidak
harus
diucapkan dengan kata, “saya minta maaf”.
Permintaan maaf dan keinginan untuk menjadi sahabat bisa dengan mengirim
sinyal-sinyal persahabatan tersebut. Sinyal itu bisa berupa mengubah
senyuman
yang sebelumnya pahit menjadi manis, atau sebelumnya jijit bersentuhan
menjadi
berdekatan, atau puasa bicara canda menjadi berbuka canda.
Suatu kelegaan
yang sangat luar biasa, jika beban benci dan musuh bisa kita ubah
menjadi cinta
dan sahabat. Ubahlah status beban hidup itu menjadi sebuah kelegaan,
maka kamu
dapatkan matahari yang kembali bersinar, dan rembulan yang kembali
purnama.Add From : http://www.psychologymania.com
0 comments:
Post a Comment
TERIMAKASIH ATAS KOMENTARNYA.
Kapan-kapan komentar disini lagi ya?????