Mendengar kata "editor", mungkin tiap
orang akan punya persepsi yang berbeda-beda, sebab saat ini banyak
profesi yang bernama editor. Tapi kali ini, yang kita maksud adalah
editor pada penerbitan buku.
Editor buku adalah orang yang
ditugasi untuk mengedit atau menyunting bahasa sebuah buku sehingga
menjadi lebih menarik dan disukai oleh pembaca. Menurut Melvi Yendra,
editor di penerbit Beranda Hikmah, Jakarta, terkadang editor juga
ditugasi untuk mencari naskah, menilai atau memutuskan layak tidaknya
sebuah naskah untuk diterbitkan. "Bahkan ada juga editor yang sampai
mengurusi percetakan, distribusi, dan lain-lain. Nah, ini namanya editor
multi-task, hahaha...," ujar aktivis Forum Lingkar Pena ini.
Secara umum, ada tiga jabatan pada profesi editor buku. Yang pertama adalah Chief Editor
atau Editor Kepala. Ia membawahi beberapa editor dan asisten editor.
Tugasnya lebih kepada hal-hal strategis seperti pencarian naskah,
membangun jaringan dengan para penulis, dan lain-lain.
Kedua, Editor
itu sendiri. Ia bertugas menilai dan menyunting naskah. Biasanya,
setiap editor akan menangani jenis buku yang berbeda-beda. Misalnya, ada
editor yang menangani buku anak, buku remaja, buku komputer, buku
agama, dan sebagainya.
Dan ketiga, Asisten Editor.
Ia bertugas untuk membaca naskah cetak-coba (proof-read), atau naskah
yang sudah selesai diedit dan siap untuk dicetak. Ia akan mencari
bagian-bagian yang masih keliru, seperti salah ketik dan sebagainya.
Kecermatan tentu amat diperlukan di sini, karena diharapkan tak ada lagi
bagian yang salah pada si buku sebelum dicetak.
Berita baiknya, sebagian besar tugas editor di atas bisa ditangani oleh pekerja lepas atau freelance. Menurut Melvi, sebagian besar penerbit sekarang punya struktur organisasi yang ramping. Mereka banyak menggunakan jasa editor freelance. Dalam kasus seperti ini, tugas editor-in-house hanya sebatas mencari dan menyeleksi naskah untuk diterbitkan.
Tapi ini bukan berarti pekerjaan si editor in-house
menjadi lebih santai. Jika penerbit tempat ia bekerja kekurangan
naskah, tentu ia harus berusaha keras untuk mengatasi masalah ini.
Sebab, setiap penerbit biasanya punya target produksi yang harus
dipenuhi. "Kalau terjadi kekurangan stok naskah, penerbit akan 'jemput
bola' dengan mengontak para penulis yang bereputasi dan meminta mereka
menulis buku yang bisa diterbitkan," ujar pria asal Minang, Sumatera
Barat, yang sudah menjalani profesi editor sejak 2001 ini.
Selain
itu, editor in-house biasanya terlibat pula dalam proses marketing.
"Seorang editor tentu lebih tahu tentang isi buku yang akan
diterbitkan," ujar Melvi. Karena itu, editor biasanya sering
berkoordinasi dengan orang-orang dari divisi promosi dan penjualan. Ia
bisa memberikan masukan tentang strategi untuk menjual buku dengan genre
dan segmen pasar tertentu. Dengan kata lain, sedikit banyaknya seorang
editor juga harus mengetahui kondisi pasar, perilaku dan kecenderungan
masyarakat dalam membaca buku. Ia harus tahu bacaan apa saja yang
disukai oleh kalangan tertentu, dan bagaimana mengemas sebuah buku agar
lebih menarik bagi si calon pembaca.
* * *
Untuk menjadi
editor buku, tentu saja Anda harus menguasai bahasa yang baik dan benar.
Anda juga harus mengetahui rambu-rambu penyuntingan naskah. "Selain
itu, kemampuan menulis akan menjadi nilai lebih, karena kepekaan
berbahasa itu sangat diperlukan dalam proses editing," ujar pria
kelahiran Batusangkar, 10 Februari 1975 ini, yang juga berprofesi
sebagai penulis dan telah menerbitkan beberapa novel.
Namun bukan
berarti seorang editor harus lulusan fakultas sastra. "Kalau editor
berasal dari jurusan bahasa/sastra/editing, akar ilmunya akan lebih
kuat. Tapi ini tidak menjamin bahwa dia lebih baik dari editor yang
berasal dari disiplin ilmu lain. Menjadi editor yang baik tidak harus
lulusan fakultas sastra, sebab ilmu editing bisa dipelajari secara
otodidak," ujar Melvi.
Dalam hal tertentu, seorang editor dari
disiplin ilmu selain sastra/bahasa justru merupakan sebuah keunggulan.
Misalnya ia adalah seorang sarjana komputer yang hobi menulis dan
belajar ilmu editing secara otodidak. Maka, ia akan lebih capable dalam
mengedit buku-buku komputer, sebab ia menguasai content dari naskah yang
diedit. Ada banyak hal yang unik pada setiap disiplin ilmu, dan itu
hanya dikuasai oleh orang-orang dari disiplin ilmu tersebut. Atau
setidaknya, si editor buku - misalnya - komputer adalah orang yang hobi
komputer dan menguasai banyak hal - belajar secara otodidak - tentang
komputer.
Tapi
tentu saja, setiap orang bisa belajar. Seorang editor yang berlatar
belakang ilmu teknik arsitektur misalnya, bisa saja memutuskan untuk
belajar ilmu ekonomi jika ia ditugaskan sebagai editor naskah-naskah
ekonomi. Ia tidak harus belajar hingga mendalam dan detil, tapi cukup
dasar-dasarnya saja.
* * *
Setiap editor tentu pernah -
bahkan mungkin sering - menolak naskah. Ini sangat wajar, sebab tidak
semua naskah layak untuk diterbitkan. Tapi bisa saja ada naskah yang
ditolak oleh sebuah penerbit, tapi diterima oleh penerbit lain. Ini
disebabkan setiap penerbit punya karakter, selera dan standar kriteria
yang berbeda-beda. "Namun secara umum, penolakan naskah biasanya karena
ia tidak bagus dari segi tema, cara penulisan yang kurang baik, tema
naskahnya tidak sesuai tren, atau bisa juga karena terlalu tebal atau
terlalu tipis. Bisa juga, penolakan disebabkan sudah banyak naskah
serupa yang diterbitkan," ujar Melvi.
Menurut lulusan Teknik
Mesin Universitas Andalas, Padang ini, secara pribadi ia sering merasa
tidak nyaman ketika harus menolak naskah, terutama jika naskah tersebut
adalah karya teman dekatnya sendiri. "Rasanya enggak tega," ujarnya.
Tapi
tentu saja, seorang editor harus bersikap profesional, lebih
mengutamakan naskah yang layak terbit ketimbang hal-hal yang bersifat
pribadi.
"Dengan menjadi editor, kemampuan editing kita akan
semakin baik. Kita juga bisa dekat dengan penulis atau orang-orang top,"
ujar Melvi. (Jonru)
Sumber foto: gettyimages.com
Sumber : Pakboer.com
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment
TERIMAKASIH ATAS KOMENTARNYA.
Kapan-kapan komentar disini lagi ya?????